Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kelas Khusus (Kelas Unggulan)

Selain penerapan kurikulum 2013, penyelenggaraan kelas unggulan/kelas khusus kini sepertinya akan menjadi trend issue bidang pendidikan. Terdengar beberapa sekolah setingkat SMP telah menerapkannya, dan sekolah SMA tempat kami bertugas juga telah mempersiapkan hal serupa. Seperti yang saya dengar, penyelenggaraan kelas unggulan ini dibarengi dengan penggunaan IT dalam proses pembelajaran, artinya dalam kelas unggulan siswa dan guru diharapkan menggunakan komputer dalam proses pembelajaran, suatu hal yang mungkin sedikit prestisius walau tidaklah berlebihan.


Dasar hukum pelaksanaannya secara pribadi saya belum mengetahui walau demikian hal ini bisa saja menjadi kebijakan internal sekolah sebagai bentuk terjemahan dari manajemen berbasis sekolah (MBS). Pro dan kontra mungkin akan mewarnai perjalanannya. Sekolah unggulan atau kelas unggulan diyakini akan memiliki dampak terhadap peserta didiknya. Sebagai bahan pertimbangan tentang kelas unggulan tersebut, maka beberapa pendapat ahli berikut ini dapat menjadi referensi sebelum kita memutuskan untuk menyelenggarakan kelas tersebut.

1. Prof. Suyanto

Pengelompokan siswa secara homongen berdasarkan kemampuan akademik menjadi superbaik, amak baik, sedang, kurang, sampai kelas "gombal", tidak memiliki dasar filosofi yang benar.
Stigmatisasi pada siswa di kelas "gombal", mereka akan kehilangan kepercayaan diri, siswa yang masuk dalam kategori kelas superbaik memiliki kecenderungan arogan, elitis, dan ekslusif. Di kelas superbaik guru guru bisa tampil penuh gairah karena fenomena positive hallow effect terhadap anak-anak berotak brilian, namun sebaliknya guru di kelas "gombal" akan cenderung bermasa bodoh akibat fenomena negatif hallow effect terhadap siswa berotak pas-pasan. Lebih lanjut Prof. Suyanto berpendapat bahwa kelas unggulan menjadi proses dehumanisasi secara sistemik di sekolah, karena tidak mencerminkan kehidupan masyarakat yang bercorak heterogen.

2. Prof. Liek Wilarjo

Anak-anak berbakat dan berotak cemerlang perlu mendapat perhatian khusus agar mereka dapat menumbuhkembangkan talenta dan kecerdasannya. Jika anak berbakat dijadikan satu dengan anak yang lambang mereka akan kehilangan semangat belajar karena jenuh dengan proses belajar yang lambang. Anak-anak yang pandai akan mengalami kerepotan jika dibiarkan bersaing dengan siswa-siswa pintar. Kelas heterogen justru akan mempersubur mediokritas, dimana anak-anak cemerlang tidak bisa mengembangkan talenta dan kecerdasannya, mengalami stagnasi dan "pemandulan" intelektual. sementara anak-anak yang lambat akan jalan ditempat.

Kekhawatiran bahwa siswa yang masuk dalam kelas "gombal" akan dihinggapi rasa minder dinggap terlalu berlebihan, karena baru berdasarkan asumsi yang belum di uji kebenarannya. Pengelompokan siswa lambang dalam kelas "gombal" justru diyakini dapat memudahkan penanganan secara khusus.

3. Prof. Conny R Semiawan

Perlu pengembangan kurikulum berdiferensiasi, dimana peserta didik yang berkemampuan unggul perlu mendapat perhatian khusus. Kurikulum berdiferensiasi dapat mewujudkan seseorang sesuai dengan kemampuan yang ada padanya, dapat menghadapi masalah dan kompleksitas kehidupan yang berubah akibat peningkatan teknologi dan perubahan nilai-nilai sosio-kultural.

4. Susan Albers Mohrman et.al. (school based management, San Fransisco)

Sebutan untuk sekolah unggulan/kelas unggulan itu sendiri kurang tepat, karena "unggul" menyiratkan adanya superior dibandingkan dengan lainnya. Kata unggul (excelent) menunjukkan adanya "kesombongan" intelektual yang sengaja ditanamkan di sekolah. Di Negara maju untuk menunjukkan sekolah/kelas baik tidak menggunakan kata unggul (excelent) melainkan effetive, develop, accelerate dan essential.

Seperti apapun niat serta dasar pemikiran kita untuk penyelenggaraan kelas unggulan ini, kita berharap ini tidak menjadi malpraktik yang akan merugikan pendidikan itu sendiri. semangat.

Terima kasih.